Dalam proses kepemilikan properti, istilah sertifikat HGB atau Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) kerap membuat beberapa orang bingung membedakannya. Kedua sertifikat merupakan dokumen legal yang sangat penting sebagai bukti kepemilikan.
Meski kelihatannya sama, namun kedua jenis sertifikat ini memiliki perbedaan mendasar yang harus dipahami, terutama jika Anda sedang berencana membeli properti atau investasi di bidang real estate. Lalu apa itu HGB dan perbedaannya dengan SHM? Simak ulasan ini!
Pengertian Sertifikat HGB

HGB adalah salah satu bentuk hak atas tanah yang sering digunakan di Indonesia, terutama dalam sektor properti dan real estate. HGB memberikan izin kepada seseorang atau badan hukum untuk mendirikan sebuah bangunan walau tanah itu bukan miliknya.
Dalam konteks ini, tanah tersebut bisa berupa tanah milik negara, milik perseorangan, atau milik badan hukum lainnya. Hak ini diatur secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, khususnya Pasal 35 ayat 1.
UU ini g menjelaskan bahwa HGB adalah hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah tanpa hak kepemilikan atas tanah tersebut.
Sertifikat HGB merupakan dokumen resmi yang menjadi bukti kepemilikan hak guna bangunan. Sertifikat ini diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan memuat informasi penting terkait properti, seperti data tanah, data bangunan, dan identitas pemegang HGB.
Dengan HGB ini, pemegang hak memiliki kepastian hukum atas hak guna bangunan yang dimilikinya untuk jangka waktu tertentu. Namun, perlu ditekankan bahwa kepemilikan HGB hanya mencakup bangunan, bukan tanah tempat bangunan tersebut berdiri.
Siapa yang Membutuhkan HGB?
HGB memiliki fungsi yang sangat vital dalam pengelolaan properti. Dengan HGB, pemegang hak mendapatkan izin legal untuk menggunakan tanah dalam mendirikan bangunan, baik untuk tujuan tempat tinggal maupun komersial.
Hak ini memberikan fleksibilitas bagi pengembang atau individu yang ingin memanfaatkan tanah tanpa harus memilikinya secara penuh.
Namun, HGB juga memiliki keterbatasan. Salah satu keterbatasan utama adalah sifat sementara dari hak ini. Ketika masa berlaku HGB habis dan tidak diperpanjang, hak guna bangunan akan berakhir, dan tanah beserta bangunannya kembali ke pemilik tanah.
Artinya, pemegang HGB tidak memiliki kendali penuh atas properti tersebut dalam jangka panjang, sehingga menjadi salah satu kelemahan dibandingkan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM). Lalu siapa saja yang membutuhkan sertifikat HGB? Sertifikat HGB biasanya diperlukan oleh:
1. Pengembang Properti
Untuk membangun proyek perumahan, apartemen, atau pusat perbelanjaan di atas tanah yang bukan milik mereka, maka pengembang membutuhkan HGB.
2. Penyewa Lahan
Seseorang atau badan usaha yang menyewa tanah untuk mendirikan bangunan dengan tujuan tertentu, seperti usaha atau tempat tinggal sementara perlu memiliki sertifikat HGB.
3. Investor Properti
Sebagai bentuk investasi jangka pendek atau menengah di bidang property, maka investor wajib memiliki HGB.
Perbedaan Antara Sertifikat HGB dan SHM

Sertifikat SHM atau HGB memiliki fungsi, hak, dan kewajiban yang berbeda sehingga memengaruhi status kepemilikan properti dan penggunaannya. Berikut adalah perbedaan utamanya:
1. Status Kepemilikan
Hak kepemilikan pada HGB hanya mencakup bangunan yang berdiri di atas tanah, sedangkan tanahnya tetap menjadi milik pihak lain.
Sementara hak kepemilikan SHM diberikan secara penuh, meliputi tanah dan bangunan. Sertifikat ini memberikan hak penuh kepada pemiliknya untuk menggunakan, mengalihkan atau menjualnya.
2. Jangka Waktu
HGB memiliki batas waktu, yaitu selama 30 tahun atau bisa diperpanjang tergantung persetujuan pihak yang memiliki tanah. Setelah masa berlaku habis, hak guna bangunan dapat diperbarui atau harus dikembalikan ke pemilik tanah.
Adapun untuk SHM sendiri tidak terbatas oleh waktu dan berlaku selamanya. Selama pemilik tidak mengalihkan kepemilikannya, SHM tetap sah secara hukum.
3. Nilai Ekonomi
Properti dengan sertifikat HGB umumnya memiliki harga jual lebih murah dibandingkan SHM. Ini disebabkan oleh sifat sementara dari hak guna bangunan dan keterbatasannya dalam kepemilikan tanah.
Properti dengan SHM memiliki nilai ekonomi lebih tinggi karena memberikan hak kepemilikan penuh, sehingga lebih diminati untuk tujuan investasi jangka panjang.
4. Tujuan Penggunaan
HGB cocok untuk tujuan sementara, seperti pembangunan properti komersial atau investasi jangka pendek. Namun, kurang ideal dijadikan hunian permanen karena statusnya yang sementara.
Sementara untuk SHM sendiri sangat ideal untuk dijadikan hunian tetap atau investasi properti jangka panjang. Status kepemilikan tanah dan bangunan yang penuh memberikan rasa aman secara hukum bagi pemiliknya.
5. Agunan atau Jaminan
HGB memiliki risiko menjadi beban Hak Tanggungan jika digunakan dalam waktu lama, sehingga kurang fleksibel untuk dijadikan jaminan atau agunan di lembaga keuangan.
Nah, untuk SHM sendiri dapat dengan mudah digunakan sebagai agunan atau jaminan karena status kepemilikannya yang lebih kuat.
Cara Mengubah Sertifikat HGB Menjadi SHM
Bagi pemilik properti yang saat ini memegang HGB dan ingin meningkatkan status legalitasnya menjadi SHM, proses ini dapat dilakukan dengan mudah melalui Kantor ATR/BPN setempat.
Berikut adalah panduan lengkap untuk membantu Anda memahami langkah-langkah dan persyaratan dalam proses perubahan ini: Sebelum memulai proses, pastikan Anda sudah mempersiapkan semua dokumen berikut:
Dokumen pengajuan perubahan HGB ke SHM
- Sertifikat HGB asli
- Dokumen ini merupakan bukti utama kepemilikan HGB Anda.
- Fotokopi Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
- Bukti bahwa bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut telah memiliki izin resmi.
- Fotokopi SPPT PBB Tahun Berjalan
- Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai bukti pelunasan pajak.
- Fotokopi KTP dan Kartu Keluarga (KK)
- Dokumen identitas pribadi dan keluarga sebagai syarat administrasi.
- Surat Pernyataan Bermaterai yang menjelaskan bahwa Anda tidak memiliki lebih dari lima bidang tanah perumahan.
- Surat Permohonan ditujukan kepada Kepala Kantor Pertanahan di wilayah domisili Anda.
- Formulir Permohonan Perubahan Status
- Formulir resmi yang diisi saat pengajuan di Kantor ATR/BPN.
Langkah-Langkah Pengajuan Perubahan HGB ke SHM
Setelah dokumen di atas lengkap, ikuti langkah-langkah berikut:
- Kunjungi Kantor ATR/BPN
- Bawa seluruh dokumen ke Kantor ATR/BPN sesuai dengan lokasi properti Anda.
- Serahkan Dokumen
- Petugas akan memverifikasi kelengkapan dan keaslian dokumen Anda.
- Lakukan Pembayaran Biaya
Anda akan diminta membayar sejumlah biaya administrasi, yang meliputi:
- Biaya pendaftaran:
- BPHTB
- Biaya Pengukuran Tanah
- Biaya Notaris
- Biaya Konstatering Report
- Setelah pembayaran, petugas akan memulai proses verifikasi dan pengukuran tanah jika diperlukan.
- Penerbitan SHM, dalam waktu sekitar 5 hari kerja setelah pembayaran selesai, Anda akan menerima Sertifikat SHM sebagai dokumen resmi pengganti HGB.
Dengan mengikuti langkah-langkah di atas, Anda dapat dengan mudah meningkatkan status legalitas properti menjadi SHM. Kalau Anda merasa proses perubahan sertifikat HGB ke SHM ini rumit, lebih baik langsung membeli unit rumah yang memang sejak awal sudah SHM.
Ketika Anda membeli unit rumah yang sudah berstatus SHM, Anda tidak perlu repot mengurus proses legalitas tambahan di kemudian hari. Kadarland menawarkan hunian berkualitas dengan opsi menaikkan sertifikat ke SHM, sehingga memberikan kenyamanan penuh bagi Anda.
Selain itu, harga yang ditawarkan tetap kompetitif dengan fasilitas lengkap. Mari, pilih Kadarland untuk mendapatkan hunian yang nyaman, aman, dan bernilai tinggi di masa depan!